Kenaikan PBB Jadi Sorotan DPRD Kota Metro
Metro – Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Metro mengalami kenaikan hingga 1.000 persen sehingga terjadi gejolak serta keluhan di masyarakat. Atas hal itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota setempat ikut menyoroti persoalan tersebut.
Sebelumnya DPRD Kota Metro telah memanggil Badan Pengelolan Pendapatan dan Retribusi Daerah (BPPRD) dalam rapat dengar pendapat (Hearing), Rabu (11/05/2022).
Hearing itu dipimpin langsung oleh Ketua Komisi II, Fahmi Anwar di Official Room DPRD setempat. BPPRD dipanggil lantaran banyak ditemukan keluhan masyarakat khususnya para pamong mengenai naiknya nilai PBB di masing-masing warga. Bahkan kenaikan pajak tersebut bisa mencapai hingga 1.000 persen.
“Kita panggil BPPRD Karena nilai pajak tahun 2021 dengan tahun 2022 ada perbedaan yang signifikan. Bukan hanya 100 persen kenaikan, bahkan bisa mencapai 500 hingga 1.000 persen kenaikan per objek pajak. Salah satu objek pajak yang sebelumnya hanya bernilai Rp136.000, naik menjadi Rp1.340.000. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan ditengah masyarakat mengenai kenaikan nilai pajak yang lebih 1.000 persen,” ungkapnya, Kamis (12/5/2022).
Ia menerangkan, masyarakat saat ini tidak berfikir tentang stimulus 90 persen. Yang terfikir saat ini ialah kenaikan pajak signifikan.
“Masyarakat sekarang tidak berfikir ada stimulus 90 persen yang diberikan. Tapi kenaikan pajak saat ini mencapai 1.000 persen lebih, naiknya PBB berpengaruh terhadap realisasi PBB di Kota Metro, bahkan pada tahun 2021 PBB di salah satu kelurahan hanya mencapai 43 persen. Apalagi dengan pengurangan stimulus saat ini, harusnya ini bisa menjadi evaluasi terhadap penetapan PBB,” bebernya.
Senada disampaikan Anggota Komisi II Wahid Asngari. Ia menjelaskan, BPPRD untuk menyampaikan mengenai stimulus PBB. Terlebih nilai stimulus atau pengurangan pajak tahun sebelumnya tidak disampaikan dalam surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT).
“Nah ini yang menjadi pertanyaan masyarakat. Kalau tahun sebelumnya dengan stimulus 90 persen dari warga hanya membayar Rp136.000, tapi sekarang ini warga harus membayar Rp1.340.000. Dari pandangan masyarakat ini berarti ada kenaikan pajak sebesar 1.000 persen lebih bukan dilihat dari stimulus yang diberikan,” cetusnya.
Sementara itu, Sekretaris BPPRD Juwanda, mengakui setelah adanya penyesuaian pajak tersebut banyak keluhan masyarakat yang masuk. Karenanya pihaknya telah membentuk tim untuk melakukan sosialisasi pajak tersebut ke masyarakat.
“Berkaitan dengan hal tersebut sudah kami disikapi dengan beberapa ketentuan. Kami telah membentuk Tim sosialisasi tingkat kelurahan dan kecamatan terhadap kenaikan-kenaikan pajak ini. Adapun kegiatan yang kami laksanakan di setiap kelurahan dengan disesuaikan jadwal setiap kelurahan,” terangnya.
Menurutnya, mengapa kenaikan petuk pajak tersebut lantaran sejak tahun 2019 terjadi analisa terhadap penilaian NJOP (Nilai Jual Objek Pajak). Sehingga pada tahun 2019 terjadi kenaikan NJOP.
“Untuk diketahui bahwa NJOP berubah pada tahun 2019 sampai dengan tahun 2020 dan 2021, sedangkan tahun 2022 NJOP tidak berubah. Mengapa terjadi perubahan NJOP karena stimulus yang diberikan pemerintah mengalami penurunan. Untuk tahun 2022 diberikan hanya 20-60 persen, berbeda dari sebelumnya sampai 90 persen,” paparnya.
Diakuinya, dengan berubahnya persentase stimulus tersebut maka persentase yang dikurangi tersebut membuat nilai hasil pajak menjadi besar. Menurutnya, pihaknya juga telah mendapatkan teguran dari BPK yang menanyakan mengenai stimulus tersebut.
“Memang stimulus 3 tahun berturut-turut tidak dapat diberikan sama. Sehingga kami memberanikan diri untuk memberikan stimulus berbeda. Namun untuk objek yang tidak sanggup membayar, kami memberikan solusi untuk mengajukan keringanan kepada BPPRD. Kami juga sudah membentuk tim BPPRD untuk mengajukan keringanan. Sehingga solusi yang diberikan adalah pengurangan pajak kepada wajib pajak,” paparnya.
Meski demikian, tambahnya, untuk pengurangan pajak tersebut diperbolehkan dengan beberapa kriteria. Ini terutama diberikan bagi warga yang kurang mampu.
“Masyarakat boleh mengajukan pengurangan dengan syarat keluarga yang tidak mampu, veteran, pensiunan, penerima PKH, atau janda yang tidak mempunyai penghasilan tetap. Kemudian jika memiliki usaha, usaha tersebut mengalami pailit dengan putusan pengadilan. Lalu, pemilik walet misalnya tidak lagi berproduksi. Untuk persentase pengurangan diberikan dengan ketentuan tidak dibawah ketentuan pajak tahun sebelumnya,” tandasnya. (*)