Terkait Mungkin Adanya Praktek Politik Indentitas pada Pilkada, Ini Tanggapan Tokoh Adat Lampung
Metro – Tokoh adat Lampung Pepadun, Abung Siwo Mego dari Marga Nuban, Akhmad Husein menyikapi rumor yang beredar, terkait kemungkinan adanya praktik politik identitas dalam Pilkada Kota Metro yang akan berlangsung pada November 2024 mendatang.
Pria 66 tahun bergelar Suttan Pengiran Rajo Kepalo Migo itu menyebut, praktik politik identitas tidak elok jika dilakukan di Kota Metro, yang notabenenya terdiri dari beragam suku, agama, ras dan antargolongan.
“Masyarakat di Kota Metro ini bisa dikatakan seperti Indonesia mini, antara warga pendatang dan pribumi membaur saling hormat-menghormati, menerima berbagai macam suku, saling menghargai dan menghormati. Maka, Kalau boleh saya berpendapat untuk dunia politik yang memakai politik identitas itu, tidak usahlah dipakai,” kata Akhmad Husein saat dikonfirmasi di kediamannya, Kamis, 22/8/2024.
“Yang netral lah. Jadi, tidak ada ketersinggungan dan kecemburuan sosial. Jangan malah memecah persatuan dan kesatuan masyarakat yang majemuk, khususnya di Kota Metro ini,” lanjutnya.
Berdasarkan catatan awak media, diketahui pada Pilkada Kota Metro 2020 silam, salah satu Calon Wali Kota Metro, Ahmad Mufti Salim mengenakan pakaian adat Jawa secara aktif untuk menarik simpati publik.
Saat itu, Mufti yang berpasangan dengan Saleh Chandra kerap tampil mengenakan pakaian khas etnis Jawa, yakni surjan dan blangkon ketika turun berkampanye, menjumpai masyarakat. Sehingga tak ayal, sejumlah masyarakat menolak Mufti pada Pilkada 2024.
Keturunan langsung dari Batin Kepala Mega, Gelar Pangeran Raja Tihang, Pesirah Marga Buai Nuban yang menghibahkan wilayahnya sebagai cikal bakal Kota Metro, untuk didiami kolonis ini mengaku prihatin dengan praktik politik identitas.
Berdasarkan data demografi Provinsi Lampung, menunjukan sebanyak 62 persen penduduk Lampung terdiri dari suku Jawa, dan 45 persen terdiri dari suku Lampung. Mata pilih bersuku Jawa kerap menjadi sasaran target politik identitas.
Akhmad Husein berharap, setiap calon pemimpin di Kota Metro bisa mengayomi masyarakat tanpa tebang pilih. Bukan malah berusaha menarik simpati mata pilih dengan cara apapun, termasuk melakukan politik identitas.
“Menggunakan pakaian adat itu baik, tapi jika dilakukan di dalam pemilihan calon kepala daerah, ini menurut saya kurang tepat,” cetusnya.
“Apalagi penggunaan penggunaan jargon semisal pilih ‘wong e dewe’. Nah terus kalau bukan etnis dia, atau bukan orangnya dia, bukan ‘wong e dewe’ gimana? Kalau mau maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah itu, kan harus mengayomi semuanya, bukan hanya sebatas wong e dewe,” timpalnya.
Menilik komposisi demografi, Kota Metro memiliki jumlah mata pilih bersuku Jawa yang lebih besar dibanding suku lain. Secara Histori, penduduk Kota Metro adalah kolonis yang didatangkan dari Jawa Tengah pada 1936.
Komposisi demografi mata pilih yang demikian, seolah-oleh diyakini dan mengundang beberapa politikus menggunakan cara instan untuk menarik simpati warga Kota Metro. Bahkan menungganginya demi mendulang suara. (Tim)